Oleh : Mulyadi
KPI/IV/B
Mencermati keberadaan media dakwah sebagai lembaga pers dakwah saat ini sungguh mengkhawatirkan. Memang benar, saat ini beberapa media dakwah baik cetak maupun elektronik kian bermunculan, tetapi keeksisannya masih diragukan. Hal ini terjadi karena ada kendala internal dan eksternal. Bisakah media dakwah mengatasi kendala-kendala tersebut? Mampukah media dakwah bertahan di tengah persaingan media komersil lainnya? Kemunculan Media Dakwah Perkembangan dakwah melalui media tidak lepas dari peran para da’i yang giat mensyiarkan Islam dengan berbagai metode. Awalnya media dakwah hanya berupa papan pengumuman atau pengeras suara di masjid-masjid. Lalu seiring dengan berkembanngnya media cetak di Indonesia, dakwah masuk melewati kolom-kolom yang tersedia di surat kabar dan majalah. Dakwah lewat tulisan mewarnai era percetakan dengan artikel-artikel Islami dan berita-berita Islami lainnya.
Begitu pun dengan media elektonik, dakwah selalu menyisipi program radio dan televisi dengan siraman rohani berupa ceramah dari para da’i dan da’iyah. Tak ketinggalan dengan berkembangnya perfilman Indonesia, beberapa film dakwah yang mengisahkan penyebaran Islam di Indonesia pernah mengisi ruang hampa dunia perfilman. Kini, semestinya dakwah bukan lagi sekedar sisipan atau hiasan media yang hanya selingan. Ruh dakwah dapat mengisi setiap sajian media dalam bentuk apapun itu dengan penuh makna. Semangat dakwah dapat menyaring pesan apa saja yang boleh dan yang tidak boleh disampaikan kepada khalayak umum.
Karakter media dapat dibentuk oleh dakwah sedemikian rupa sehingga mempunyai ciri khas yang tidak keluar dari etika penyiaran. Oleh karena itu, kehadiran dakwah harus diwadahi dengan adanya media dakwah sebagai lembaga pers yang profesional. Sejak UU No 40/1999 tentang Pers dan Kode Etik dimunculkan, kebebasan pers di Tanah Air kian terasakan. Terutama jika mencermati bunyi Pasal 9 Ayat (1): “Setiap warga negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers.” Implikasi dari pasal tersebut, direspon oleh Menpen Yunus Yosfiah (waktu itu) untuk membebaskan perusahaan pers dari SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers). Dampak paling nyata dari kebebasan pers tersebut ialah munculnya penerbitan koran, majalah, dan tabloid baru. Baik yang bersifat popular, serius maupun dakwah, sama-sama memiliki keinginan untuk terbit dan eksis.
Kemunculan beberapa stasiun televisi dan radio siaran pun merupakan salah satu dampak dari kebebasan pers. Selain itu, dampak kebebasan pers juga terasa di ranah kampus melalui penerbitan majalah dan jurnal ilmiah, baik yang dikelola dosen maupun mahasiswa. Pers dakwah merupakan institusi yang berkiprah dalam kegiatan dakwah dengan menggunakan metode jurnalistik dalam pencapaian tujuannya. Adapun bentuk organisasi yang terlibat dalam kegiatan manajemen pers dakwah yaitu:
1) pers yang melaksanakan dakwah
2) lembaga dakwah yang khusus menggunakan metode jurnalistik dalam pencapaian tujuan dakwahnya
3) lembaga dakwah yang menggunakan metode jurnalistik di samping metode komunikasi lainnya dalam mencapai tujuan dakwahya;
4) lembaga kemasyarakatan lainnya yang melakukan dakwah dengan menggunakan metode jurnalistik.
Dari keempat bentuk manajemen pers dakwah tersebut, hanya bentuk ke-1 yaitu pers yang melaksanakan dakwah yang relatif bertahan lama. Pada umumnya, pers yang melaksanakan dakwah memiliki manajemen yang baik karena memfokuskan segalanya pada keberlangsungan kegiatan jurnalistik. Muatan informasi yang disampaikannya umum dan universal karena diperuntukkan bagi seluruh kalangan masyarakat. Sirkulasinya pun tersebar luas dan mudah dikenal oleh masyarakat sehingga menjadi daya tarik bagi para pengiklan. Selain itu, pers yang melaksanakan dakwah telah memiliki jaringan kerja baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Namun sayangnya tujuan utama pers tersebut bukan mencapai tujuan dakwah tetapi lebih pada tujuan komersil. Sedangkan ketiga bentuk lainnya kurang bertahan lama, dalam bilangan tahun atau bahkan hanya beberapa bulan sudah gulung tikar. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa kendala baik dari internal maupun dari eksternal. Kendala Internal dan Eksternal Pers memiliki dua sisi yang harus dijalankan secara seimbang, yaitu sisi idealisme dan pragmatisme. Idealisme pers dakwah adalah pesan dakwah yang disampaikan kepada masyarakat.
Pesan dakwah ini disesuaikan dengan budaya organisasi yang ditanamkan dalam suatu media massa. Jika budayanya bercorak Islam tradisionalis, tentu pesan dakwahnya juga bernuansa Islam tradisionalis. Idealisme pers tersebut tidak dapat berjalan tanpa ditopang oleh pragmatisme pers, yakni unsur bisnis yang menunjang kelangsungan suatu media. Bisnis pers memperhatikan segmentasi pasar. Keadaan pasar ini berpengaruh pada bentuk pesan dakwah yang disampaikan. Jika hal ini diabaikan, media massa dakwah harus bersiap untuk gulung tikar. Ketidakseimbangan inilah yang kerap kali menjadi hambatan internal dalam pers dakwah. Berdasarkan pengamatan, beberapa pers dakwah belum memiliki manajemen yang baik. Dalam manajemennya belum tercipta deskripsi kerja berdasarkan tugas keredaksian, usaha, dan sirkulasi yang jelas dan terarah. Perncanaan jangka panjang dan jangka pendek belum dirancang secara matang. Tanpa perencanaan yang matang semua kegiatan yang dilakukan itu dapat dipastikan tidak terarah dan tidak berarti sama sekali. Sehingga prosedur pencapaiannya tidak akan berhasil dengan baik sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, sumber daya manusia merupakan faktor yang terpenting dalam pers dakwah. Manajemen yang baik tidak akan berjalan optimal tanpa dikelola oleh SDM yang baik. Sayangnya SDM yang mengelola di beberapa pers dakwah kurang kompeten di bidangnya.
Para pengelola memiliki pengetahuan yang terbatas tentang penyuntingan, penata grafis, tata letak, dan keterampilan lainnya yang berhubungan dengan pers. Sehingga tampilan fisik media menjadi kurang bagus dan tentunya kalah saing dengan media komersil lainnya. Tak dapat dipungkiri lagi, masalah pendanaan pun menjadi kendala internal. Pembiayaan penerbitan media biasanya dari dana institusi. Para pengelola bertugas secara serabutan mencari dana dari sumber manapun. Hal ini terjadi, karena belum adanya penanam modal atau pemegang saham sehingga sumber keuangan masih belum jelas. Kendala keuangan ini berkaitan pula dengan jumlah iklan yang dipasang para pengiklan. Ada pendapat yang mengatakan sukses-tidaknya media massa amat bergantung dari jumlah iklan yang termuat. Biasanya jumlah iklan di media dakwah atau dalam program dakwah amat sedikit karena ada kriteria atau persyaratan tertentu yang mesti ditaati. Sehingga tidak semua iklan dapat ditayangkan atau dimuat dalam media dakwah. Setelah menelusuri kendala internal, ada beberapa kendala ekternal yang menyebabkan lembaga pers dakwah kurang eksis di dunia media massa. Salah satunya adalah terbatasnya ruang sirkulasi bagi media cetak serta terbatasnya jangkauan siaran bagi media elektronik. Media dakwah cenderung kurang diminati oleh masyarakat dari kalangan umum.
Biasanya segmentasi media dakwah adalah masyarakat yang telah memahami Islam secara komprehensif atau masyarakat pada komunitas Islam tertentu. Bisa jadi, masyarakat kurang berminat pada media dakwah karena topik-topik yang dipilih kurang menarik. Penyebabnya kurangnya pasokan naskah yang akan diterbitkan atau minimnya ide kreatif dari pengelola pers dakwah. Hal ini menjadi pertimbangan bagi pengiklan karena para pengiklan mencari media yang banyak diminati oleh masyarakat agar penjualan produknya meningkat tinggi. Setelah mencermati hal di atas, kiranya kita ambil kesimpulan bahwa pers/ media perlu dikelola secara profesional, tak terkecuali pers/ media berbasis dakwah. Untuk itulah, paling tidak kita bisa membenahinya melalui:
a) membuat deskripsi kerja yang jelas, terutama soal ranah keredaksian.
b) pemilihan topik-topik baru, menarik, kreatif, dan bisa dicerna oleh semua kalangan.
c) merangkul lembaga lain untuk menjadi founding.
d) membentuk jaringan media dakwah baik nasional maupun internasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar